Ku buka pintu kamar yang sudah kutinggal pergi selama 3 tahun, terasa asing bagiku, tiap sudut ku lihat satu persatu. Semua tak berubah, masih sama seperti dulu ketika aku pergi ke Surabaya untuk melanjutkan sekolahku. Jam dinding yang tertempel dekat pintu saja, masih ada sticker angka tujuh, yang menunjukkan nomor absen ku dulu. Teringat angka tujuh, mengingatkanku pada seseorang ketika SMA, yang lahir pada tanggal 07-07-1977. Tak sengaja, aku suka dengan angka tujuh.
                 Terkejut aku ketika melihat sebuah kotak di bawah kolong tempat tidur terpojok di sisi kanan. Ku terdiam, ingin rasanya aku menitikkan air mata, namun ku tak bisa. Kudekati kotak itu, ku ambil, ku bersihkan debu yang menutupi tutup kotak itu, dan ku buka perlahan. Isi dari kotak itu merupakan kenangan dengan orang yang bertanggal lahir 07-07-1977, ada liontin, puisi, sapu tangan, dan sebuah kunci yang
dia berikan kepadaku, tak tahu aku kunci itu benar-benar ada pintunya atau tidak, namun aku suka akan bentuknya.
                 Sebenarnya orang itu bernama Adna. Seseorang yang sangat aku sayangi hingga saat ini, seseorang yang mengerti apa yang aku butuhkan, seseorang yang membuat aku selalu bahagia, dan seseorang yang selalu ada disampingku. Sayangnya, aku tak tahu dia ada dimana sekarang ini.
                 Ku coba merebahkan tubuh ini ke tempat tidur yang sudah dirapikan Ibu tadi malam sebelum aku tiba disini. Ku ingat kembali saat aku pertama kali bertemu dengannya, senyumnya yang manis masih terngiang di pikiranku. Kita pun belum pernah berkenalan, tahu nama saja dari teman. Bila seharian suntuk karena mata pelajaran yang begitu njlimet, hanya melihat wajahnya saja penat yang ku rasakan bisa hilang. Pernah, ketika aku, dia, dan kawan-kawan pergi ke daerah yang tinggi, sebut saja gunung, tiba-tiba dia menggenggam tanganku, karena udaranya sangat dingin dan aku lupa membawa sarung tangan. Aku merasakan ada yang berbeda. Namun, bahagia aku saat itu, karna baru kali itu aku merasakannya. Dan, tak kusangka juga hari itu dia mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini. Moment langka yang pernah aku alami. Dengan bahasa seadanya dia memintaku untuk mengisi separuh hatinya. Rintik hujan yang turun saat itu menambah suasana menjadi dramatis. Dan aku tidak dapat menjawab apa-apa selain “ya”. Selang beberapa jam setelah itu kami pulang kerumah masing-masing. Rasa haru bercampur tak percaya menyelimuti pikiranku.
               Setelah hari Minggu itu, aku mencoba berpikir kembali keputusanku kemarin yang sudah menerimanya sebagai kekasihku. Aku takut bila dia benar-benar jadi jodohku, aku takut, walaupun aku sangat menyayanginya namun dia tak seagama denganku. Tak ingin ku ulangi kejadian yang dulu menimpaku. Yang telah salah mengambil keputusan, yang mengakibatkan seseorang yang menyayangiku terluka. Aku tak ingin peristiwa itu menimpa Adna.
              Hidup itu dibawa santai aja, asal kita bisa adaptasi dengan situasi kondisi. Bila ada jalan lain yang lebih baik, kenapa tidak? Aku bahagia bisa berdiri disini di antara teman-teman yang sangat baik.
              Dering handpone memecahkan lamunanku. Ku lihat layarnya, nomor pribadi. Ku angkat panggilan itu. Aku menunggunya berbicara. Satu menit sudah ia tak kunjung berbicara, terpaksa aku mencoba memulainya, “ Hallo..”, dia tak menjawabnya, kuulangi sekali lagi dia juga tak menjawab. Perasaanku mulai nggak enak. Ketika akan kututup teleponnya tiba-tiba, “ Tika...“ Dia memanggil namaku, aku tersentak kaget, sepertinya aku mengenali suara itu, dan tak salah lagi suara itu adalah suara Adna. Namun, saat aku ingin menjawabnya, telpon itu ditutup. Sungguh kecewa diriku saat itu, mengapa ketika waktu akan mempertemukan kita tiba-tiba terhenti, walaupun hanya lewat telepon.
               Ku coba keluar kamar, menemui Ibu yang sedang ada di dapur. Ibu tahu apa yang sedang ku rasakan saat ini, dan Ibu bilang, semuanya sudah diatur, pasti Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik untukku. Damai hati ini ketika Ibu berkata seperti itu.
              Selang beberapa waktu berbincang-bincang dengan Ibu, Kusuma, atau lebih dikenal dengan sebutan Uma datang ke rumahku. Dia salah satu sahabat baikku waktu di SMA dulu. Senang sekali, dia adalah teman dekatku yang pertama kali menemuiku setelah kepergianku tiga tahun silam.
              Uma menceritakan segala hal yang dia alami, mulai dari kejadian lucu di rumahnya, bertemu dengan cowok aneh, sampai kucing kesayangannya melahirkan pun ia ceritakan kepadaku. Cara bicaranya pun masih sama seperti dulu, berbicara dengan tempo yang sangat cepat hingga kadang aku tak tahu apa maksudnya. Menjadi kesenangan tersendiri bagiku mempunyai teman seperti dia. Setelah mengobrol cukup lama dengan Uma, tiba-tiba ia menanyakan kabarku dengan Adna. Aku bingung menjawabnya, karena aku tak tahu. Kuceritakan semua pada Uma ketika aku akan berangkat ke Surabaya, bahwa aku tidak pamit sama Adna, dia tahu aku di Surabaya dari Ibu. Aku sangat menyesal saat itu, aku berpikir keputusanku saat itu benar, aku hanya tidak mau dia jadi sedih. Hanya itu alasanku kenapa tidak pamit, bukan karena ingin meninggalkannya. Ketika aku menanyakan keberadaan dan kabar Adna sekarang, Uma hanya terdiam dengan raut muka yang berbeda. Ku tanya sekali lagi apa yang sebenarnya terjadi, perlahan dia menggumam. .
              “mmmmmmm, maafin aku, kaa“ katanya.
              “Maaf buat apa?” sahutku.
              “Aku tidak memberi tahumu kalau Adna sekarang tinggal di luar Jawa di rumah neneknya. Dia pergi dua hari setelah kamu berangkat ke Surabaya” jawab Uma.
              “Lalu kenapa kamu nggak kasih tahu aku??” kataku.
              “Adna melarangku untuk memberitahumu.” Jawab Uma.

              Rasa kecewa dan menyesal bercampur dipikiranku, mungkin ini sebuah karma, karna aku tidak pernah bilang bila ingin pergi. Uma yang duduk disampingku mencoba menenangkan ku dengan memberi sepotong coklat.
             Setengah hari Uma ada di rumah. Tak bosannya dia di rumahku, mungkin suasana rumahku yang penuh keceriaan yang membuat dia nyaman, tak seperti keadaan rumah Uma yang sepi karena tidak ada penghuni, kedua orangtuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan dia juga anak tunggal. Jadi hanya denganku dia bergaul. Rencananya besok kita berdua akan pergi ke taman kota tempat kita biasa mencari inspirasi, berharap mendapat ketenangan hati.
           Pukul 23.00 WIB malam ini aku tak bisa tidur, masih memikirkan keberadaan Adna yang tak tahu ada dimana, andai dia tahu aja, disini aku sangat merindukannya. Pukul 02.00 WIB aku baru bisa tertidur, dan aku bermimpi bertemu dengan Adna. Bangun tidur aku segera mengabari Uma tentang mimpiku itu, aku berharap akan menjadi kenyataan.
          Pukul 08.00 WIB aku berangkat menghampiri ke rumah Uma. Setelah aku menuggu dia bersiap-siap kami pun berangkat. Cukup 20 menit perjalanan ke taman kota dengan naik bus kota. Saat akan menyeberang, sekilas aku melihat wajah Adna di dalam sebuah mobil, spontan aku berteriak memanggil nama Adna sambil berlari mengejar mobil itu. Sekuat tenaga aku berlari, namun yang ku dapat hanya plat nomornya saja B 124 DA. Kecewa lagi aku saat ini, mengapa terlalu banyak kata kecewa dalam kamusku?
          Aku mengurungkan niat untuk masuk ke taman kota. Pikiranku sudah terpenuhi oleh Adna, aku ingin mencari dan bertemu dengannya walau hanya mengucap kata maaf saja mungkin cukup bagiku.
          Hari berikutnya aku mencoba mencari alamat yang mempunyai plat mobil B 124 DA. Dengan bantuan teman Ibuku yang seorang polisi, mobil itu ada di alamat Jalan Mangir Kemuning no 77. Aku terkejut lagi, rumah itu bernomor 77, persis seperti tahun kelahiran Adna. Aku berjalan sendirian menemui rumah itu, aku tak berani mengajak Uma, takut kalau dia menyalahkanku. Tepat di depan pintu gerbangnya, seorang satpam menyapa dengan ramah dan menanyakan kepentingan aku datang ke rumah ini. Aku menjawab ingin bertemu dengan seorang yang bernama Adna, namun satpam itu menjawab bahwa di rumah itu tidak ada yang bernama Adna. Aku tak percaya, dan dengan bersikeras aku berusaha untuk masuk. Mungkin karena keributanku dengan satpam terdengar keras, satu orang laki-laki dan satu orang perempuan keluar dari rumah itu. Tak salah lagi laki-laki itu adalah Adna, aku ingin berlari memeluknya, tapi siapakah perempuan yang ada disampingnya, apakah mungkin istrinya, tapi tidak mungkin, Adna masih terlalu muda untuk menjadi suami wanita tua itu. Aku tak tahu harus bagaimana, aku benar-benar bingung. Terpaksa aku menunggu mereka sampai di pos satpam. Dengan pandangan tajam, raut muka menakutkan, dengan nada tinggi pula dia bertanya kepadaku,
          “Siapa kamu?? Berani-beraninya membuat keributan di rumah orang !! Nggak tahu etika ya???!! Mau apa datang kesini???!! Minta sumbangan yaa? Pergi aja sana !!!!!!!” bentaknya.
          “Belum sempat menjawab aja udah ditanya macem-macem, ni orang waras engga si?” batinku.
Aku menjawab “Saya Tika, ingin bertemu dengan seseorang yang bernama Adna”
           “ Siapa??Adna?? Disini nggak ada yang namanya Adna. Pergi dari rumahku !!!” kata wanita itu sambil mendorongku keluar.
Aku diam dan hanya menatap mata seorang yang aku yakini sebagai Adna, dia pun juga membalas tatapanku. Aku tidak mengerti dengan semua ini. Adna yang aku kenal sebagai laki-laki yang berani, laki-laki yang tak pernah sanggup melihat wanita terluka, bisa-bisanya diam saja melihat aku diperlakukan kasar seperti itu.
            Beginikah jalanku seperti yang dibilang Ibu? aku hampir putus asa?? Aku percaya pasti ada jalan lain yang lebih baik dari ini, asalkan kita mau berusaha.
           Aku berjalan menyusuri malam, aku berdoa semoga saja ini terbaik untuk Adna bila memang wanita itu jodohnya.
          Selang waktu berjalan, aku berniat untuk pergi ke taman kota. Sudah seminggu ini aku selalu menyendiri. Meratapi kisah cintaku yang dirundung pilu. Sesal terasa diakhir perjalanan. Ku berjalan lelah menuju sebuah tempat duduk yang di desain angka tujuh yang dikedua sisinya bisa digunakan untuk duduk,, ku hirup nafas dalam-dalam pagi itu, sejuknya embun masih terasa. Ku coba tenangkan diri. Ketika aku melihat bunga disampingku tertarik aku akan warnanya yang menarik spontan tangan ku menyentuhnya. Disaat yang bersamaan aku merasa menyentuh tangan seseorang, dingin sekali tangan itu. Ketika aku mencoba menoleh, aku sangat terkejut dan kaget, ternyata tangan itu milik Adna, seseorang yang sangat aku sayangi. Beranjak aku dari tempat duduk, lalu ku dekap Adna dengan erat.
             “ Aku kangen kamu “ kataku sambil menangis.
             “ Aku juga “ jawab Adna dengan mengusap air mataku.
             Setelah kami bernostalgia, aku bertanya siapa wanita yang kemarin bersamanya, dia menjawab bahwa dia bersamanya hanya sebagai balas budi, karena 2 tahun silam wanita itu telah membiayai operasi hati ayah Adna, dengan balas budi Adna mau menjadi suaminya dan tinggal di rumahnya. Adna juga bilang, kalau dia sudah menjelaskan kepada wanita itu yang bernama Asri, bahwa sebenarnya dia tidak ada rasa dengan Asri. Dia juga terkenal dengan nama Wisnu, bukan Adna karena nama sebenarnya Adna Wisnu Wibowo, pantas saja Asri tidak tahu Adna. Mendengar ceritanya, aku meminta maaf setulus hatiku dengan Adna, aku sadar aku salah meninggalkannya dulu, dan aku tidak akan mengulanginya lagi. Namun sebelumnya aku bertanya tentang informasi Uma bahwa Adna berada di luar Jawa, dia menjawab ketika di luar Jawa itu hanya setengah tahun aja, dan saat Adna kembali ke\sini Uma tidak tahu.
              Begitu bahagianya hari ini, karena aku telah menemukan cintaku yang dulu dan tepatnya, hari ini tanggal 07 bulan tujuh tahun 2000 pukul 07 menit ke 7.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran yang sangat berguna serta membawa manfaat yang besar dan dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini dengan syarat-syarat sebagai berikut :
✖Komentarlah sesuai tema
✖Komentarlah dengan baik dan sopan
✖Jangan berkomentar SARA
✖Jangan sampai Spam
✖Jangan Asal COPAS. kalau mau COPAS. silahkan sertakan link sumber

(-‿-) Trimakasih (-‿-)
@Ikhwan Alfath

 
Sahabat Sejaties © 2014. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top